Laman

Monday, 21 March 2022

Bertemu Inner Child di Hari Sabtu

Hari ini kau berdamai dengan dirimu sendiri, kau maafkan semua salahmu dan ampuni dirimu. Hari ini ajaklah dirimu bicara mesra, jujurlah pada dirimu kau bisa percaya. Maafkan semua yang lalu, ampuni hati kecilmu... luka luka hilanglah luka, biar tentram yang berkuasa. Kau terlalu berharga untuk luka, katakan pada dirimu, semua baik-baik saja. - Tulus.

Bertemu inner child

Sepenggal lirik lagu Tulus berjudul Diri di atas rasanya tepat sekali buat menemani postingan saya kali ini, setelah mengikuti workshop dengan Dandiah Care bersama teman-teman blogger untuk membicarakan tentang inner child melalui zoom yang diinisiasi oleh Teh Ani Berta dari ISB (Indonesian Social Blogpreneur).

Ini kedua kalinya saya mengikuti workshop menarik mengenai mental health, psikologi seseorang dan mempraktekkannya secara langsung bersama Dandiah Care. Tahun lalu saya mengenali, mencoba memahami tentang Anger Management, dan mempraktekkan terapi anger management tersebut, mengelola emosi, meluapkan kekesalahan, kemarahan dengan cara yang positif.

Dan tahun ini, saya senang bisa punya kesempatan lagi untuk mengikuti workshop dengan Dandiah Care, dari pasangan psikolog, penulis buku, founder Biro Psikolog Dandiah, Diah Mahmoed dan Dandi Birdy. 

Mengutarakan Isi Hati

Well, saya mau sedikit curhat.
Akhir-akhir ini kondisi psikis saya memang sedang nggak baik-baik saja, mungkin bisa dibilang stress dan sedikit depresi, beberapa tekanan hidup membuat saya lupa caranya 'hidup'. Lebih banyak mengurung diri di kamar, lebih suka menyendiri, tidur seharian, seharian pegang handphone tapi nggak suka berkomunikasi dengan siapapun, pengennya rebahan terus. Seperti perasaan yang saya tulis di Facebook di bawah ini tapi saya kunci. Perasaan ini saya rasakan sejak tahun 2019 lalu.

curhat melly

Sejujurnya saya sedang merasa takut dengan masa depan. Ditambah saya seperti kehilangan pegangan, kehilangan semangat, kehilangan rencana untuk menata kehidupan akibat Covid-19 yang saat ini masih ada dan sedikit memporak porandakan kehidupan. Sejak lulus SMA tahun 2004, saya merantau dan bekerja di Bogor, pulang ke Lampung hanya saat mudik lebaran atau libur tanggal merah. Dan karena Covid, kurang lebih setahun ini saya kembali ke Lampung, lalu sadar bahwa Ibuku sudah lansia, butuh ditemani anaknya (fyi, saya belum menikah)

Sedikit informasi, sebelum mengikuti workshop dengan tema "Bertemu Inner Child" di Sabtu siang (19/03) kemarin itu, kondisi dan hubungan saya dengan Ibuku juga sedang nggak baik-baik. Saya punya kekesalan terhadap Ibuku dan begitu sebaliknya, Ibuku juga sepertinya sedang kesal sekali dengan saya. Namun kami berdua sama-sama punya sifat keras kepala, sama-sama gengsi untuk mengutarakan isi hati. Ini yang sulit, saya menyadari itu.

Fyi (lagi), kami ditinggalkan alm Ayah sejak saya berumur 2 tahun, 34 tahun yang lalu. Dan Ibu saya tidak menikah lagi hingga sekarang, Ibu menjadi single mother dengan ekonomi seadaanya, kedua kakak saya diasuh oleh saudara ayah ibu yang lain. Secara otomatis saya hanya tinggal berdua dengan Ibu, ketika kami semua bekerja, ibuku hidup sendiri. Lalu saya kembali ke Lampung dan masih sendiri.

Rasanya tak ada yang berubah, hanya perasaan saja yang sering berubah. Ntah ini berhubungan dengan inner child atau bukan, tapi saya merasa bahwa saya memang belum tumbuh benar-benar menjadi dewasa. Saya sering merasa menjadi anak kecil yang sering dikasihani oleh orang lain karena menjadi anak yatim dan miskin, apalagi saat ini saya masih saja belum bertemu jodoh untuk menikah.

Hingga saat ini pun, Ibuku sepertinya masih menganggap saya anak kecil yang belum bisa apa-apa, menurutnya saya tidak bisa masak (dari kecil saya nggak diajari masak), saya tidak bisa beberes rumah - setiap kali beberes rumah tak ada apresiasi dari ibu, justru beliau sering kesal karena apa yang saya kerjakan menurutnya itu masih salah. Sekarang pun begitu, Ibuku ternyata nggak berubah.

emak

Jika saya masak, masakan saya jarang dimakan, menurutnya kurang enak, ketika saya membereskan rumah, dia masih saja tidak puas. Apa mungkin kondisi ini karena kami sudah lama 'berpisah' dan baru kembali hidup bersama setahunan ini?

Mungkin juga karena Ibuku memang sudah tua, sudah lama tinggal sendiri, sudah biasa tersendiri, jadi ketika ada yang merecoki rumahnya dengan hadirnya saya kembali, membuatnya merasa terganggu?

Ntahlah... saya pun dilema. Saya belum pernah menjadi orang tua, belum pernah menjadi ibu, jadi saya belum bisa memahami betul apa yang dirasakan oleh seorang ibu terhadap anaknya. 

Tapi saya perempuan dewasa, saya belajar dan berusaha untuk memahami kondisi yang ada, saya memahami ibu selama ini sendiri, berjuang sendiri, bertahan sendiri. Tapi saya juga butuh dimengerti, saya bukan anak-anak lagi, walaupun belum menikah. Tolong sedikit hargai apa yang saya pilih dan lakukan.

Tapi rasanya curhatan saya sudah terlalu panjang ya? Kalau nggak distop, mungkin semua uneg-uneg yang saya tahan selama ini keluar dan dibaca oleh semua orang, hehehe.

Bertemu Inner Child

Dan saya berterima kasih untuk ISB dan Dandiah Care karena sudah mengadakan workshop yang sangat bermanfaat buat saya di awal tahun ini. Apa yang disampaikan oleh Teh Diah, sedikit banyak membuat saya menyadari, bahwa memang inner child saya sedang terluka, oleh pengasuhan ibuku dan kurang sosok ayah dalam hidupku.

Karena menurut Teh Diah, faktanya yang terjadi di masa kini dipengaruhi oleh masa lalu kita. Jika masa lalu mengganggu masa kini ini pentingnya kita mencari tau innerchild.

Innerchild ini sangat relate dengan mindfulness kita yang belum finish. Karena peran apapun di dalam kita menjalani hidup ini, seperti menjadi orang tua, menjadi konselor, menjadi apapun adalah peran yang sangat krusial, yang mempengaruhi kehidupan kita atau seseorang di masa depan.

Perilaku kita saat ini adalah proses kita belajar dengan lingkungan. Spirit innerchild adalah dari psikologi positif.

Dan banyak sekali efek-efek dan faktor yang mengurangi mindfulness. Jika ada sisi anak yang masih terluka, kita sulit untuk menerima keadaan. Terutama ketika kita akan menikah dan menjadi orang tua, karena kata Teh Diah, egosentris jadi salah satu sifat yang sangat buruk dalam sebuah pernikahan.  Untuk itu agar bisa menjadi happy parents kita harus terlebih dahulu menjadi happy child

Ketika menikah banyak sekali interaksi interpersonal - komunikasi antara pasangan suami istri. Namun untuk bisa menjalin hangat secara interpersonal kita harus bisa membangun yang hangat dengan diri sendiri (intrapersonal) terlebih dahulu.

Dan itu pentingnya kita mencari ilmu dan belajar, karena ilmu itu nafas kehidupan. Jemputlah ilmu dari manapun pintunya, karena dari ilmu akan muncul beragam kebaikan.
Menjemput ilmu itu tergantung dari kita, kita mau atau tidak mau.

Anak-anak yang terluka batinnya, biasanya terlahir atau terasuh oleh kualitas orang tua yang anger management nya masih buruk. Mungkin itu yang terjadi pada ibuku, masa kecilnya kurang bahagia, ketika menikah ditinggal suami dan mengurus anak sendiri, tidak ada tempat curhat untuk semua keluh kesah yang ada. Semuanya ditanggung sendiri.

Saya tidak ingin menyalahkan ibu, dan mencoba memahami ini, saya tahu betul bagaimana sulitnya Ibuku berjuang sendiri membesarkan anak-anaknya. Tapi, menurutku Ibuku agak egois, memilih tidak menikah lagi dengan alasan 'demi anak-anak' dan mungkin takut kecewa dengan pasangan yang baru. Tapi ibu nggak menyadari efek jangka panjangnya terhadap psikolog kami, anak-anaknya, yang kurang figur seorang bapak (saya tahu betul perasaan ini-yang sering merasa rendah diri).

Saya sering menangis sendiri ketika melihat manisnya interaksi teman-teman saya dengan ayah-ayah mereka. Tapi ketika dewasa saya merasa baik-baik saja tanpa seorang lelaki, toh ibuku selama ini tetap 'hidup' tanpa laki-laki di sampingnya - ini juga akibat dari masa lalu saya yang pernah terluka oleh hubungan asmara dan gagal nikah. Dan mungkin baru 4-5 tahun ini saya mulai berubah pikiran untuk mencoba mengenal kembali laki-laki serta berniat serius untuk menikah.

Dan seperti kata Teh Diah, ketika kita ingin mengubah perilaku, kita harus mengubah paradigma (thinking, feeling, acting). Nggak mungkin bisa positif akting kalau masih ada negatif thinking dan negatif feeling.

Dan apakah ada anak durhaka?
Apakah ada orang tua yang durhaka.

Faktanya kaita semua berpeluang untuk berada di posisi di kedua pertanyaan tersebut, namun kita juga memiliki pilihan untuk tidak berada di posisi keduanya.

Lalu, luka pengasuhan ini apa masih bisa diperbaiki? 

Seperti yang dikatakan Teh Diah dalam workshop 'Bertemu Inner Child' Sabtu siang hari itu, orang tua memilik andil dalam lahirnya luka pengasuhan, tetapi yang bertanggung jawab penuh untuk memulihkan atau mengobati adalah diri kita sendiri. Dan kuncinya adalah forgiveness.

Orang tua yang kurang berlemah lembut secara perilaku dan emosi, membuat anak punya luka dan punya psikologis yang kosong. Saya akui, Ibu saya itu sedikit temperamental, mudah emosi, saya seringnya ketakutan untuk mengutarakan apa yang mau saya sampaikan, karena Ibu sering marah-marah, kadang sulit untuk menerima pendapat dan nasihat orang lain, maunya dia sendiri.

Tapi dari Dandiah Care ini saya sedikit belajar untuk mengelola emosi dari workshop anger management yang saya ikuti tahun lalu, bahwa saya tidak boleh seperti ibuku yang sering marah terhadap orang-orang di sekitarnya. Dan belajar memahami dari sisi psikologi menjadi ibuku selama ini.

Karena dari perspektif psikologi,orang tua itu harus mempunyai 3 ego state, yakni child ego state, adult ego state, parent ego state. sebagai orang tua gunakan 3 state tersebut untuk menjalin relation ship dengan anaknya. Semoga ketika nanti saya sudah menikah dan punya anak bisa mempraktekkan hal ini. Untuk menyeimbangkan kehidupan. Karena kata Teh Dia, punya sisi childish itu baik asal seimbang.

Dan dari perspektif Islam, luka pengasuhan terjadi karena ada hak anak yang minim atau tidak dipenuhi sosok orang tua. Saya mencoba memahami ini lagi yang terjadi pada ibuku.

Kalau menurut Pak Dandi, apa yang kita lakukan tersebut bukan untuk mengubah takdir, tapi bagaimana merespon takdir. Pengalaman hidup itu adalah warisan yang berharga untuk kita. Pengalaman yang terjadi, perilaku orang tua yang kita alami bukan untuk dikembalikan kepada anak-anak kita (nantinya), tapi sebagai pelajaran, agar anak-anak tak mengalami hal yang sama dengan apa yang kita alami selama ini.

Terima kasih Teh Diah, Pak Dandi, Teh Ani dan ISB juga teman-teman blogger yang sudah bersama-sama memberi pelajaran melalui workshop 'Bertemu Inner Child' kemarin.

1 comment:

  1. Ehm inner child suka muncul di saat yang tidak terduga, tepatnya saat rasa trauma di masa lalu terulang kembali. Sebelum kejadian dan merasa aneh dengan sikap yang tiba-tiba muncul mending mengenali inner child dari awal.

    ReplyDelete

Terima Kasih - @melfeyadin