Laman

Monday, 21 June 2021

Stop Diskriminasi Terhadap Disabilitas dan Orang Yang Pernah Mengalami Kusta

Ini mungkin pertama kalinya saya benar-benar mengulik tentang apa itu penyakit Kusta atau yang juga disebut dengan penyakit Lepra. Selama ini saya hanya mendengarnya saja, tapi tidak tahu banyak mengenai salah satu jenis penyakit yang konon mudah menular dari satu orang ke orang yang lainnya.

kusta

Saya pikir Kusta hanyalah sebuah penyakit biasa, yang tidak akan menjadi terlalu serius bila seseorang mengalami kusta. Ternyata Kusta menjadi salah satu penyakit kronis tapi masih bisa disembuhkan. Namun tentu saja bila seseorang terkena penyakit Kusta akan ada pengalaman yang tidak enak yang akan dilewati di hidupnya. Oleh karena perlakuan tidak adil dari orang-orang yang melihatnya.

Mengapa saya bilang tidak adil? Karena dari beberapa kasus dan cerita orang yang pernah mengalami kusta (OYPMK) ini sering mendapatkan diskriminasi sosial, dihindari, dikucilkan, serta mendapatkan pandangan atau stigma buruk karena dianggap akan menularkan penyakit kepada orang lain.

Padahal faktanya, bila seseorang pernah mengalami Kusta dan dinyatakan sembuh, penyakitnya itu tidak kembali lagi dan tidak akan menularkan kepada orang lain lagi. Masih sedikit orang yang mau memahami ini, dan mungkin termasuk saya. Dampaknya ini orang yang pernah mengalami kusta ini juga cukup sulit mendapatkan pekerjaan, karena setelah sembuh pun masih terjebak dalam lingkaran diskriminasi.

Namun, setelah mendengarkan paparan dari Talkshow diskusi Ruang Publik yang diselenggarakan oleh KBR (Kantor Berita Radio) melalui channel youtubenya pada Selasa (15/07) yang lalu tentang Orang Yang Pernah Mengalami Kusta yang dihadiri oleh beberapa narasumber, di antaranya ada Angga Yanuar - Manager Proyek Inklusi Disabilitas NLR Indonesia, Zukirah Ilmiana - Owner PT Anugrah Frozen Food dan Muhamad Arfah - Pemuda OYPMK. Tema yang diangkat ialah, Kesempatan Kerja Bagi Disabilitas dan Bekas Penyandang Kusta.


Oh ya, diskusi Ruang Publik KBR ini rutin diadakan dengan mengangkat tema-teman menarik mengenai lingkungan dan isu-isu sosial di masyarakat. Isu inklusif menjadi topik yang penting untuk dibahas.

Namun, sebelum saya mengulas dari diskusi obrolan ruang publik hari itu, saya ingin menambahkan sedikit informasi tentang apa itu penyakit Kusta yang saya baca juga dari berbagai artikel di platform kesehatan di internet.

Dari yang dijelaskan oleh Mas Angga, dari NLR Indonesia, Indonesia masuk peringkat ke-3 sebagai penderita kusta terbanyak di dunia, setelah India dan Brasil. Untuk kasus di Indonesia pertumbuhan dari tahun ke tahun datanya cenderung menurun. Beberapa daerah di Indonesia seperti Papua, Sulawesi, Jawa Timur, Sumatera Barat masih belum mencapai eliminasi dari penyakit kusta.

Kusta adalah satu jenis penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri kronis, Mycobacterium leprae, yang menyerang sistem saraf, jaringan lapisan kulit. Bakteri ini dapat menular dari satu orang ke orang yang lainnya melalui percikan cairan penapasan (droplet), ludah atau dahak saat seseorang ini sedang batuk atau bersin. Penyakit Kusta ini termasuk penyakit tropical yang diabaikan, dan termasuk penyakit kuno, tapi hingga sekarang nyatanya masih banyak orang yang menderita kusta. Secara umum disebut penyakit kulit.

Namun perlu dipahami, walau penularan melalui droplet, Kusta tidak mudah menular begitu saja, hanya karena kita berinteraksi, bersalaman atau duduk bersama dengan orang yang menderita kusta. Kusta juga tidak menular hanya karena berhubungan seks dan bakteri ini membutuhkan waktu yang cukup lama untuk berkembang biak. Gejala Kusta bisa dilihat dari perubahan warna kulit, lesi kulit (kelainan kulit) mati rasa dan terasa baal .
Saat ini belum ada vaksin untuk pengobatan Kusta, dan jika seseorang didiagnosa menderita Kusta sebaiknya segera menghubungi dokter untuk penangan lebih lanjut agar kusta bisa disembuhkan dan memutuskan rantai penularan kepada yang lainnya.

Jika saya search gambar-gambar di google tentang penyakit Kusta, memang terlihat agak mengerikan bagi orang yang melihat ataupun mengalaminya sendiri, terutama jika Kusta ini sudah cukup parah dan belum diobati sehingga jelas perbedaannya di kulit seseorang. Kusta juga bisa menyebabkan komplikasi.

kusta
Penyakit Kusta. Foto: fkui

Penderita kusta masih akan menerima stigma negatif dari lingkungan sosialnya, sehingga sulit untuk mendapatkan pekerjaan walaupun si penderita sudah dinyatakan sembuh seratus persen. Stigma dan diskriminasi seperti; pasien kusta masih berpotensi menularkan, apalagi jika penyakit yang diderita meninggalkan bekas dan terlihat jelas oleh masyarakat lainnya.

Inilah yang dibahas dari diskusi Ruang Publik KBR hari itu, bagaimana upaya kita semua bisa menerima seseorang bekas penyandang Kusta bisa berada di tempat umum seperti yang lainnya, tanpa memandang rendah dan mengucilkan mereka apalagi dengan pikiran takut tertular. Tak hanya bagi orang yang pernah mengalami kusta, tapi juga kepada para penyandang disabilitas lainnya yang masih dipandang sebelah mata.
Dan yang terpenting adalah bagaimana caranya menghilangkan stigma tersebut, teruama stigma diri atau internalisasi. Karena untuk membangkitkan kepercayaan diri kembali bagi orang yang pernah mengalami kusta itu lumayan sulit.

Penyandang disabilitas butuh ruang, butuh tempat yang sama seperti yang lainnya dalam menjalani hidup, terutama dalam mencari pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun stigma negatif di masyarakat membuat mereka kehilangan kepercayaan oleh perilaku buruk masyarakat terhadap penderita kusta.
Jadi beruntung bila ada orang-orang seperti Ibu Zukirah Ilmiana (Owner PT Anugerah Frozen Food) yang masih bisa menerima penyandang disabilitas dari orang yang pernah mengalami kusta untuk bisa bekerja di perusahaan tanpa memandang perbedaan mereka.

Menurut Ibu Zukirah, harusnya kita tidak memandang berbeda kepada kawan-kawan penderita kusta, kita harus bisa merangkul dan ikut memberikan mereka tempat yang sama, yang adil dengan masyarakat lainnya dalam mencari kerja. Persoalan ini bukan hanya tanggung jawab pemerintah melalui kementrian sosial saja, tapi ini menjadi mendesak dan tanggung jawab kita bersama dalam bermasyarakat yang mengedepankan kepedulian sosial.

No comments:

Post a Comment

Terima Kasih - @melfeyadin