Sering sekali kita melihat berita di media yang kurang ramah terhadap anak-anak. Beberapa artikel atau postingan dari netizen yang memberitakan tentang anak tidak melihat efek jangka panjang yang akan mereka terima nantinya di kemudian hari. Identitas maupun foto mereka yang tersebar, bisa saja dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan kejahatan atau keuntungan tersendiri.
Anak-anak. Foto: freestocks.org |
Iya, bicara anak-anak nggak akan ada habisnya, ya. Kita yang pernah menjadi anak-anak, ataupun yang sudah menjadi orang tua. Walaupun saya sendiri belum menjadi orang tua, namun pengetahuan tentang bagaimana seharusnya kita memperlakukan anak-anak itu wajib banget diketahui. Kita harus tau apa saja hak dan kewajiban yang bisa kita lakukan untuk melindungi anak-anak di luaran sana.
Well, pengetahuan ini saya dapatkan setelah mengikuti Bimtek yang diadakan oleh Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) pada Rabu, 24 November 2010 di Hotel 101 Bogor dengan tema "Bimtek Pemantauan Pemberitaan Ramah Anak Bagi SDM Media Electronik dan Sosial"
Anak-anak Masa Depan Bangsa
Kita pasti tau, anak-anak adalah masa depan bangsa. Mereka adalah tunas, penerus cita-cita perjuangan suatu bangsa. Anak-anak punya potensi dan peran strategis dalam menjamin kelangsungan kemajuan suatu bangsa dan negara di masa depan.
Kemajuan suatu bangsa ditentukan juga bagaimana kita memperlakukan anak-anak dalam kehidupannya. Seperti contoh isu kekerasan pada anak-anak, yang membuat produksi ekspor negara kita jadi terganggu, oleh karena di negara kita ada anak-anak yang bekerja di perkebunan kelapa sawit. Sehingga suatu negara dijauhi dalam pergaulan international dan membuat negara jadi tidak bisa maju.
Anak-anak tugasnya bermain dan belajar, mereka juga punya ciri dan sifat khusus, passion anak-anak tidak ada yang sama, tidak seharusnya kita membebani mereka dengan pekerjaan atau memaksakan kehendak atau keinginan kita terhadap mereka. Anak-anak punya hak untuk bebas memilih pilihannya sendiri apa yang mereka inginkan, kita sebagai orang tua berkewajiban memberi contoh, mendampingi dan mengarahkan mereka kepada yang baik.
Peran keluarga juga sangat penting dalam membentuk karakter anak. Anak yang tumbuh dengan baik, ke depannya juga akan jadih lebih baik. Kelurga berkewajiban mengupayakan ketersediaan buku-buku dan bahan informasi layak anak yang mereka butuhkan. Keluarga juga punya tugas membangun komunikasi yang baik. Karena anak-anak adalah peniru ulung, orang tua, keluarga, lingkungan sekitar juga musti memberikan contoh yang baik kepada mereka.
Seperti apa yang dikatakan oleh Khalifah Ali bin Abi Thalib, untuk mendidik anak sesuai zamannya. Kita tidak bisa mendidik anak sama seperti saat kita masa kecil dulu. Anak-anak zaman sekarang hidup tidak bisa jauh dari teknologi dan internet. Orang tua pun harus bisa menyesuaikan dengan perkembangan zaman dalam membentuk karakter dan mendukung cita-cita demi masa depan mereka.
Oleh karenanya, ketika anak-anak terlibat dalam suatu masalah atau kasus, pemberitaannya tidak boleh berlebihan dan perlu pengawasan. Dalam Bimtek yang diselenggarakan oleh KPPA kemarin itu, banyak sekali materi dan permasalahn anak yang dibahas dan harus dibenahi, tentang hak anak dalam mendapatkan perlindungan masa depan.
Banyak kejahatan yang bisa terjadi terhadap anak-anak, sehingga dalam pemberitaan tidak boleh terlalu detil, dalam bersosial media internet pun kita harus berhati-hati ketika memposting foto maupun identitas anak-anak kita.
Peran Masyarakat Dalam Mewujudkan Pemberitaan Ramah Anak
Untuk diketahui, dalam melindungi anak-anak itu sudah diatur oleh negara dan ada undang-undangnya. Ada 3 isi Pasal dalam UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, diantaranya:
- Pasal 52. (1) Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat dan negara. (2) Hak anak adalah hak asasi manusia dan unutk kepentingan hak anak itu diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam kandungan.
- Pasal 63. Setiap anak berhak untuk tidak dilibatkan di dalam peristiwa peperangan, sengketa bersenjata, kerusuhan sosial, dan peristiwa lain yang mengandung unsur kekerasan.
- Pasal 65. Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak, serta dari berbagai bentuk penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya.
Selain itu ada juga UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (revisi) UU No 35 Tahun 2014. Dalam Pasal 3 yang isinya: Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusian, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.
Kita tidak bisa memberitakan kasus tertentu yang terjadi pada anak secara berlebihan, apalagi menyebarkan identitas mereka kepada khalayak yang bisa merugikan si Anak.
Di dalam Pasal 5 Kode Etik Jurnalistik (KEJ) disebutkan. Bahwa wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila, dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan. Jika ada media/wartawan atau setiap orang yang melanggar hal ini bisa dipidana penjara paling lama 5 tahun atau denda seperti yang ada di Pasal 19 ayat (1). Dan kita pun sebagai masyarakat umum bisa melaporkannya. Untuk pembahasan yang ini nanti saya akan bahas di akhir tulisan.
Identitas yang dimaksud di sini adalah, semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang dapat memudahkan orang lain untuk melacak. Seperti yang tertera dalam UU No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA)
1). Identitas Anak, Anak Korban, dan atau Anak Saksi wajib dirahasiakan dalam pemberitaan di media cetak maupun elektronik.
2). Identitas sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) meliputi nama Anak, nama Anak Korban, nama Anak Saksi, nama orang tua, alamat, wajah, dan hal lain yang dapat mengungkapkan jati diri Anak, Anak Korban dan atau Anak Saksi.
Jadi sudah jelas, apa saja hak anak-anak dalam mendapatkan perlindungan untuk masa depan mereka. Dalam hal ini nama baik mereka, [psikologis mereka dalam pemberitaan di media baik konvensional dan elektronik, seperti di televisi, media cetak, radio/streaming, media sosial internet (FB, IG, Twitter, Whatsapp dan lainnya).
Seringkali pemberitaan tentang anak ini kurang memperhatikan atau mempertimbangkan kemungkinan yang terjadi pada si anak yang menjadi korban secara berulang-ulang. Anak yang sudah menjadi korban kekerasan atau ketidakadilan lain, bisa menjadi korban pemberitaan.
Seperti contoh pada kasus kejadian yang terjadi pada tanggal 25 Desember 2016, tentang pembunuhan sadis yang terjadi di Pulomas, Jakarta. Ada sebelas korban disekap di kamar mandi, yang mengakibatkan 6 korban meninggal dunia karena kekurangan oksigen. Sementara salah satu korban yang selamat adalah anak kecil. Anak kecil ini diberitakan atau dipublikasikan dengan jelas wajahnya saat berada di Rumah Sakit, nama RS-nya pun disebutkan dengan jelas, ruangan dan lainnya, sementara pelakunya pun masih berkeliaran di luaran sana.
Kasus dengan pemberitaan seperti ini bisa jadi akan memperburuk masalah, anak-anak mengalami trauma yang mempengarahui psikologis mereka, apalagi si anak diminta untuk menceritakan kronologis kejadian yang sudah dialaminya.
Pemberitaan dengan menyebarkan identitaspun membahayakan keselamatan si anak. Bayangkan bila pelaku kejahatan tersebut mengincar si anak korban yang selamat ini?
Tidak hanya pemberitaan pada anak korban kekerasan saja, tapi pemberitaan tentang anak pada kasus lainpun harus mengacu pada undang-undang. Contoh kasus seperti berita anak pengidap HIV/AIDS, misalnya. Si anak ini sudah menjadi korban dari orang tua yang tidak mengetahui dan juga tidak hati-hati terhadap penyakit tertentu. Setelah diberitakan dan menyebutkan identitas anak, bisa juga si anak akan menjadi korban stigma, atau mendapat perlakukan buruk dari masyarakat sekitar. Misal dikucilkan dan lainnya.
Banyak lagi contoh kasus lain, yang tentu saja akan berakibat tidak baik terhadap anak di masa depannya. 4 Prinsip Pemberitaan Berspektif Perlindungan Anak ini bisa kita pikirkan lagi, bagaimana seharusnya kita memperlakukan anak-anak dalam pemberitaan dan penegakan hukum.
- Tak ada kejahatan anak, yang ada ialah kenakalan. Anak-anak pada dasarnya polos, belum bisa berpikir secara luas. Mereka melakukan sesuatu mungkin saja tanpa berpikir panjang.
- Pelaku kejahatan anak pada dasarnya adalah juga seorang korban. Kita pasti pernah mendengar berita bahwa ada anak perempuan terpaksa membunuh ayah atau pamannya. Setelah ditelusuri, ternyata si anak justru korban dari pelecehan seksual yang sudah dilakukan pelaku.
- Anak memiliki hak, bukan kewajiban.
- Setiap penegakan hukum harus berorientasi pada apa yang terbaik pada anak.
Dari grafis yang dibagikan KPPA pada pertemuan Bimtek hari itu pun kita kita mengetahui, bahwa kita semua berperan dalam mewujudkan pemberitaan ramah anak. Hal inipun dijelaskan dalam Pasal 17 UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers:
- Masyarakat dapat melakukan kegiatan untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan menjamin hak memperoleh informasi yang diperlukan.
- Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa:
a) Memantau dan melaporkan analisis mengenai pelanggaran hukum, dan kekeliruan teknis pemberitaan yang dilakukan oleh pers.
b) Menyampaikan usulan dan saran kepada Dewan Pers dalam rangka menjaga dan meningkatkan kualitas pers nasional.
Dari poin mengenai isi undang-undang hak asasi dan perlindungan anak inilah Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) membuat Pedoman Pemberitaan Ramah Anak (PPRA). (Kesimpulan next)
Perlindungan Anak Dalam Pemberitaan
Anak-anak amanah dari Tuhan yang harus kita jaga dan pelihara, di Indonesia jumlahnya 1/3 dari total penduduk. Anak merupakan investas Sumber Daya Manusia (SDM) yang harus kita penuhi hak dan perlindungannya, seperti yang sudah disebut di atas, anak adalah tongkat estafet yang akan meneruskan perjuangan bangsa.
Hak anak untuk mendapat perlindungan tertulis dalam UU No 35 Tahun 2014, Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Ada beberapa prinsip dasar yang harus jadi pertimbangan kita dalam pemberitaan anak di media.
Pertama, menjamin anak sebagai penerima layanan informasi dan lainnya untuk diberikan pelayanan tanpa mendiskriminasikan warna kulit, ras, suku bangsa, jenis kelamin, bahasa, agama, golongan, kelompok sosial, latar belakang sosial ekonomi orang tua, pendidikan dan lain-lain.
Kedua, menghargi pandangan anak, walaupun masih anak-anak tapi kita harus menjamin hak mereka untuk dihargai. Anak sebagai penerima informasi berhak untuk didengarkan, dihormati dan dipertimbangkan dengan sungguh-sungguh pandangannya.
Ketiga, menjamin kepentingan terbaik bagi anak terutama dalam layanan yang diberikan.
Keempat, menjamin hak hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan anak, mental spiritual, moral, psikis, sosial yang melekat dalam diri setiap anak.
Untuk itu, ada dua poin yang harus kita perhatikan ketika memberikan perlindungan anak melalui pemberitaan.
1). Anak sebagai objek (sumber) pemberitaan. Anak-anak yang membutuhkan perlindungan sebagai korban atau saksi harus mendapatkan perlindungan khusus agar terhindar dari publikasi berlebihan atas identitasnya. Hal ini seperti yang sudah dijelaskan di atas untuk menghindari kejahatan-kejahatan lain maupun sanksi sosial yang bisa saja terjadi.
2). Anak sebagai subjek (penerima) pemberitaan. Anak-anak berhak untuk dipenuhi kebutuhan memperoleh informasi dan bahan yang bermanfaat dalam hal dan bentuk apapun untuk pertumbuhan dan kehidupan mereka.
Masalahnya, di era internet yang cepat seperti sekarang ini, banyak sekali informasi untuk orang dewasa di media yang juga bebas dikonsumsi anak-anak. Sebagai orang tua, kita wajib mendampingi anak-anak ketika mengakses informasi yang tidak pantas untuk dibaca.
Memahami Persamaan dan Perbedaan Antara UU SPPA dan PPRA.
UU No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA)
Sistem Peradilan Pidana Anak merupakan keseluruhan dari proses penyelesaian perkara Anak yang berhadapan dengan hukum, mulai dari tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana. (Pasal 1 Angka 1 UU SPPA)
Anak yang berhadapan dengan hukum yang dimaksud menurut Pasal 1 Angka 2 UU SPPA adalah:
> anak yang berkonflik dengan hukum, yang umurnya 12 tahun, tetapi belum berumur 18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana.
> anak yang menjadi korban tindak pidana, anak yang belum berumur 18 tahun yang mengamali penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana.
> anak yang menjadi saksi tindak pidana, anak yang belum berumur 18 tahun yang sudah dapat memberikan keterangan dalam kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana.
Oleh karenanya, dalam menangani perkara anak yang berhadapan dengan hukum, semua pihak wajib memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak, dan menghindari membuka identitas anak. Bila ada yang melanggar kewajiban yang harus dipenuhi untuk melindungi hak anak akan kena sanksi hukum dan kena pidana.
Sedangkan PPRA atau Pedoman Pemberitaan Ramah Anak dibentuk bersumber dari undang-undang tentang sistem peradilan anak (UU SPPA) yang disahkan oleh Dewan Pers pada tanggal 9 Februari 2019.
Dan meskipun sama-sama melarang membuka identitas anak, namun PPRA yang sanksinya administrasi oleh Dewan Pers bisa juga dilaporkan oleh setiap orang melalui peran serta masyarakat. Kita bisa ikut melaporkan pembuat berita yang melanggar ketentuan SPPA.
Tujuan dibuatnya Pedoman Pemberitaan Ramah Anak (PPRA) adalah:
- Integritas perspektif perlindungan anak dalam praktek jurnalistik
- Sebagai langkah preventif melindungi wartawan dari jerat hukum pidana
- Mendorong terwujudnya pemberitaan ramah anak sesuai prinsip perlindungan anak
- Penanganan kasus-kasus yang melanggar prinsip pemberitaan.
- Penguatan perspektif perlindungan anak pada jurnalis.
Berikut tempat pengaduan yang bisa kita lakukan ketika menemukan konten atau berita yang melanggar kode etik jurnalistik (KEJ) maupun dalam dalam UU SPPA dan PPRA
Alamat Pengaduan Dewan Pers
Pengaduan Online:
https://dewanpers.co.id/datapengaduan/form
Alamat Pengaduan KPI Pusat
Pengaduan Online:
https://kpi.go.id/index.php/id/form-pengaduan
Alamat Laporan Konten Negatif
Pengaduan Online:
https://www.aduankonten.id
Catatan:
Semua data dan isi materi dari pertemuan Bimtek Pemantauan Pemberitaan Ramah Anak Bagi SDM Media Electronik dan Sosial dan KPPA.
Iya itu yang berita penyekapan 2016 lalu itu serem banget yah Mba Mel. Lebih serem lagi ketika identitas anak yang selamat disebar luaskan dengan wajah yang begitu jelas. Mereka gak tahu betapa dampak dari itu bisa ke psikis nya juga :).
ReplyDeleteItu serem sih peristiwa 2016 di surabaya waktu itu. Aku sampai mikir kok bisa ya seniat itu, lho! dan nggak hanya itu foto dan identitas sekeluarga tersebar luas di dunia maya hinga detik ini. Serem!
ReplyDelete