Saturday, 28 September 2019

One Day Trip di Kawasan Kota Tua Jakarta Hingga Meracik Jamu Tradisional Dengan Cara Modern

Setelah penat merajai pikiran karena terlalu banyak kerjaan ataupun masalah pribadi, memang untuk menenangkannya itu cuma satu obatnya, traveling atau melakukan trip tiba-tiba yang di luar rencana. Setelah beberapa waktu lalu saya ke Tasik untuk sekedar melepas penat. Rabu kemarin saya bareng temen-temen Komunitas Indonesian Social Blogpreneur (ISB) melakukan trip sehari ke kawasan Kota Tua Jakarta.


Dan ini seru banget, walau pun saya sudah beberapa kali ke Kota Tua Jakarta, namun setiap perjalanan pasti akan punya cerita yang berbeda-beda, kan. Dan nge-trip sehari dengan Komunitas ISB itu membuat saya mengetahui beberapa sejarah yang selama ini nggak saya ketahui.
Well, walau Jakarta lagi panas-panasnya karena masih musim kemarau dan secara kebetulan posisinya berdekatan dengan laut, membuat  udaranya jadi lembab dan lumayan banyak polusi dari asap knalpot kendaraan dan debu-debu jalanan. Tapi sungguh kita nggak bisa lepas dari yang namanya polusi udara jika hidup di perkotaan. Apalagi dengan banyaknya laju kendaraan yang berlalu lalang. Solusi satu-satunya ialah melawan asap juga debu-debu jalanan itu dengan menggunakan masker dari Nexcare, masker dengan filter unggulan untuk perlindungan maksimal setiap saat, untuk menutupi saluran pernafasan agar tak terkontaminasi virus yang membawa penyakit ke dalam tubuh, juga menjaga agar paru-paru kita tetap bersih.


Kenapa saya dan teman-teman blogger saat ngetrip kemarin memilih masker dari Nexcare? Pertama, karena polusi udara di Jakarta itu memang sudah sangat mengkhawatirkan, kedua, masker Nexcare ini punya 3 lapis filter plus ada tambahan lapisan filter dengan karbon aktif yang mampu melindungi dari polusi dan bau tidak sedap. Sedangkan untuk yang lebih ekstra lagi, bisa menggunakan Nexcare Respirator KN95, untuk yang jenis ini jika polusinya sudah sangat tinggi.

Pelabuhan Sunda Kelapa

Bisa dibilang nggak full satu hari kami melakukan trip kemarin, karena sekitar jam 12 siang kami sudah kembali ke lokasi meeting point untuk melakukan workshop dan diskusi santai mengenai travel writers di salah satu kedai Jamu Tradisional Acaraki.

Inilah yang menurut saya berbeda, walau sudah sering ke Kota Tua Jakarta, namun baru kali ini saya berhasil menginjakkan kaki di Pelabuhan Sunda Kelapa, salah satu tempat yang penuh sejarah bagi peradaban perkembangan Jakarta, karena sudah ada dari berabad-abad yang lalu. Dulu pada masanya, menurut Mbak Ira Latief, tour guide kami hari itu. Pelabuhan Sunda Kelapa merupakan pelabuhan tersibuk dan sangat penting di kawasan Asia Tenggara khususnya di Pulau Jawa. Dari sejarahnya, Sunda Kelapa ini merupakan cikal bakal menjadi Ibu Kota Jakarta.

Sampai sekarang pun pelabuhan ini masih tetap aktif melakukan kegiatan bongkar muat barang (perdagangan), karena nyatanya masih digunakan untuk mengirimkan barang-barang ke beberapa pulau di Indonesia.


Pelabuhan Sunda Kelapa juga menjadi spot favorit bagi fotografer untuk berburu sunset, karena konon, tempat ini jadi salah satu spot terbaik untuk itu. Sayangnya kami ke Pelabuhan Sunda Kelapa di waktu pagi, jadi tak bisa melihat keindahan senja yang membuat setiap mata berdecak kagum. Memilih pagi agar tak berdesak-desakan dengan pengunjung lainnya. Karena kawasan Kota Tua ini akan ramai di sore hari apalagi di akhir pekan.


Setelah puas berfoto-foto dan menikmati aktivitas para pekerja di barisan kapal pinisi yang terparkir dan bongkar muat kontainer, yang menjadi pemandangan tak biasa. Kami melipir untuk melanjutkan ke lokasi bangunan bersejarah lain di kawasan Kota Tua Jakarta.

Karena cuaca Jakarta sangat panas, seorang teman membekali dengan pesan untuk jangan lupa minum air putih (mineral) yang banyak agar tidak dehidrasi. Dan hari itu memang terasa sekali badan cepat lelah, padahal waktu masih menunjukkan pukul 9 pagi, namun suhu udara benar-benar membuat badan cepat dehidrasi. Satu botol minum tak cukup, untungnya ada air minum Aqua di mana-mana. Tetes airnya yang jernih menghilangkan dahaga.

Bangunan selanjutnya ada Menara Syahbandar dan Museum Bahari

Sebut saja tempat ini kedua kalinya saya hampiri, pertama bersama seseorang, ketika itu hari sudah sore dan kami nikmati dengan berjalan kaki. Ah, melihat museum dan menara ini hatiku terperangkap dengan kenangan sore itu. Seperti tak ingin kembali, tapi... kata orang-orang kita harus menghadapi setiap kenyataan.


Dan kenyataannya, trip bersama ISB ini saya harus mengulang kembali setiap inci Menara Syahbandar yang menurut sejarah, dahulunya menjadi salah satu bangunan tertinggi di Batavia. Bangunan megah kala itu, dan disituskan sebagai titik nol-nya Jakarta. Masuk saja ke salah satu bangunan, di situ akan tertera tulisan beraksara China dan menunjukkan keterangan mengenai sejarah tentang titik nol Jakarta.

Ada 3 bangunan yang berdiri kokoh di area lokasi Menara Syahbandar yang mengarah langsung ke laut lepas. Yang tertinggi saat ini disebut sebagai menara Pisa-nya Jakarta. Karena ternyata setelah diperhatikan dengan seksama, menara ini memang miring seperti menara Pisa yang ada di Italia sana.

Dari lantai atas Menara Syahbandar yang dibangun tahun 1893 ini kita bisa dengan leluasa melihat pemandangan Batavia, laut lepas, Museum Bahari dan bangunan-bangunan lainnya. Di situ juga kita akan diperlihatkan foto maupun lukisan dari jaman ke jaman, bagaimana lokasi di sekitar Museum ini berubah dari masa ke masa.


Berjalan sebentar di Jl. Ps Ikan, kita langsung menemukan bangunan yang sangat indah dan artistik. Museum Bahari atau disebut juga Museum Kemaritiman. Di bangunan museum yang punya 2 lantai ini banyak sekali menyimpan alat-alat atau koleksi kebaharian dari jaman dulu. Berbagai jenis perahu yang digunakan oleh pelaut dari berbagai bangsa ada di sini, yang tentu saja berbentuk replikanya. Bentuknya lucu-lucu tak terbayang rasanya orang-orang terdahulu berlayar mengarungi samudera lepas menggunakan perahu yang begitu rumit perakitannya.

Ingin rasanya berlama-lama di Museum Bahari maupun Menara Syahbandar yang menyimpan banyak kenangan bersejarah bagi dunia kemaritiman Indonesia. Namun, rasanya ada yang aneh dan kami pun diburu untuk segera kembali ke Kota Tua, yakni Kedai Jamu Acaraki yang berada di samping/belakang Museum Fatahilah. Atau tepatnya berada di Gedung Kerta Niaga.

Acaraki Jamu, Kedai Jamu Tradisional Yang Kekinian

Untuk menemukan Kedai Jamu Acaraki ini, kita memang harus cermat, karena berada di dalam gedung dan cukup tersembunyi. Namun suasananya benar-benar berbeda dan nikmat sekali untuk bersantai sembari menyeruput jamu tradisional dari racikan Acaraki Jamu.

Yups, saya baru tau jika peracik jamu itu disebut Acaraki (dari Bahasa Sansekerta). Dan mengenai Jamu jamu tradisional ini, sungguh aku berdecak tak percaya. Ternyataaaa, sejarahnya begitu penting untuk kita telisik lagi lebih dalam.

Oh, seriosly, saya itu penggemar jamu. Jika sedang sakit, saya lebih baik disuruh minum jamu pahit bergelas-gelas dari pada harus menelan butir pil yang berwarna warna dan pahit itu. Kita percaya, khasiat jamu tradisional itu bagus untuk kesehatan, dan kita percaya bahwa berbagai jenis rimpang untuk pembuatan jamu di Indonesia ini sudah dimanfaatkan oleh orang-orang jaman dulu, bahkan mungkin dari jaman Rosul, yang jika diterapkan sekarang kita lebih mengenalnya dengan Jurus Sehat Rosulullah (JSR), walaupun mungkin secara penyajian berbeda. Namun tentu saja, kandungan-kandungan manfaat yang ada pada tumbuhan alami tersebut baik bagi kesehatan.


Kedai Acaraki Jamu yang ada di Kota Tua Jakarta ini seperti ingin mengingatkan kita kembali kepada masa kejayaan obat-obatan tradisional. Namun, tentu saja di Kedai ini kita tak akan menemukan alat untuk menumbuk maupun pemeras jamu yang bergaya tradisional. Karena di Acaraki Jamu, penyajiannya sangat modern, ala-ala Coffee Shop yang sedang marak dan bermunculan saat ini. Jadi jangan berpikir minum jamu itu adalah cara kuno, tapi pikirkan tentang bagaimana jamu bisa bermanfaat untuk kesehatan tubuh.


Dan ini menarik sih menurut saya, karena pengunjung yang datang tetap bisa menikmati jamu bahkan melihat sendiri bagaimana proses pembuatannya, tanpa perlu belepotan oleh warna-warna jamu. Menu-menu yang disajikan tentu saja berisi jamu-jamu dengan racikan khusus ala Acaraki Jamu. 

Well, ngomongin Jamu-jamuan, saya baru tau kalau Jamu itu berasal dari Bahasa Jawa kuno: Djampi dan Oesodo, yang berarti doa dan kesehatan. Yang jika diartikan kembali jamu ini baik bagi kesehatan, karena proses nya juga penuh doa-doa dan harapan agar siapapun yang meminumnya mendapatkan manfaatnya.

1 comment:

  1. Melly di foto sampe naik gitu aku khawatir jatuh aja lihat dari kejauhan hahaha

    ReplyDelete

Terima Kasih - @melfeyadin