Laman

Thursday, 29 November 2018

Ternyata Rindu Sekali Dengan Kota Palembang

Setelah Lampung dan Jogja, Palembang adalah kota yang begitu erat hubungannya dengan kehidupan saya. Mungkin teman-teman blogger ada yang baru tau, kalau di Lampung saya hidup dan besarnya di lingkungan orang Palembang. Saya terbiasa dengan tradisi atau kebiasaan orang Palembang, sehari-hari kalau di rumah percakapannya juga menggunakan Bahasa Palembang. Sejak kecil, saya hapal dengan lagu-lagu daerah Palembang, cerita-cerita legenda seperti Si Pahit Lidah. Karena sejak kecil pula, almarhum Abah saya diasuh oleh keluarga orang Palembang. Jadi kalau mau dibilang, Palembang itu sudah mendarah daging di tubuh saya.
Tapi sebenarnya saya sedikit malu, kenapa baru sekarang ini bisa mengunjungi Palembang, yang sempat saya statusin di sosmed beberapa waktu lalu, bahwa Palembang itu cuma selemparan kolor doank dari Lampung, dengan artian saking jaraknya tuh lumayan deket, sama kayak dari Bogor ke Natar, kurang lebih 8-9 jam. Yang bisa dijangkau kapanpun saya mau (asal ada duitnya) haha. Tapi kalau belum jodoh dan belum saatnya, memang semua rencana yang sudah kita buat untuk melakukan perjalanan itu pasti ada aja halangannya. Saya mengalami ini sudah dua kali, sudah pesan tiket kereta ke Palembang dengan jadwal pagi pada Agustus lalu, tapi akhirnya batal. Untungnya harga tiket kereta pagi dari Bandar Lampung ke Palembang itu cuma Rp. 32 ribu doank, jadi ya walaupun merasa rugi, tapi nggak kerasa-kerasa banget. Anggap saja lagi nyumbang buat KAI hehehe.

Lalu kemarin, tiba-tiba ada ajakan untuk ikut buat ikutan Famtrip Musi and Beyond 2018, ke Palembang selama 4 hari 3 malam, dari Dinas Pariwisata Kota Palembang, dan syukurnya saya terpilih. Tapi kemudian saya galau. Karena perjalanan ke Palembang ini yang ditanggung hanya akomodasi selama di sana saja, transportasi dari kota asal ke Palembang menggunakan biaya sendiri. Hmm. Sementara itu saya lagi nabung buat liburan bareng keluarga awal tahun besok. Hmm. Duit mana duit hihihi.

Tapi ini kesempatan emas ke Palembang tanpa harus pusing mikirin destinasi mana saja yang harus saya kunjungi, karena dengan mengikuti famtrip, kita tinggal duduk manis dan pasrah mau dibawa kemana saja oleh panitia dan penyelenggara. Lalu saya mulai berpikir gimana caranya bisa ikutan famtrip ini tanpa harus mengeluarkan biaya lebih atau kalau bisa dihemat sehemat mungkin.
Dan kalau dihitung-hitung, ini sudah hemat banget. Karena akomodasi selama di Palembang semuanya ditanggung, itu berarti saya cukup mengeluarkan ongkos pulang pergi. Tapi tapi, masa nggak jajan jajan cantik dan bawa oleh pempek dari kota asalnya langsung? 

Okay, akhirnya di putuskan untuk ngeteng, dan kebetulan ada temennya, Mbak Yuniari Nukti dari Surabaya yang juga terpilih untuk ikut famtrip ke Palembang. Dia bilangnya sih pengen merasakan nyeberang ke pulau Sumatera. Kalau mau baca bagaimana heboh draman perjalanannya Mbak Yuni berjuang sampai Palembang dari Surabaya, silahkan cari sendiri blognya dan baca postingannya tentang ini hahaha. Itu seru banget sih, karena seandainya itu terjadi pada saya, mungkin saya sudah panik duluan, apalagi ini perjalanan Mbak Yuni pertama kalinya menyeberangi selat Sunda (sendirian). Drama ketinggalan busnya itu yang bikin saya sedih, tiket Damri dari Jakarta ke Lampung terpaksa hangus. Tapi dari pengalaman itu, cerita selama di Palembang menjadi seru.

Karena begini rincian yang saya rencanakan ke Palembang lewat darat alias ngeteng berdua Mbak Yuni menuju Palembang, yang menurut saya lumayan hemat untuk saya pribadi.. 
Kami sepakat untuk bertemu di Stasiun Gambir, untuk naik Bus Damri tujuan Tanjung Karang, Lampung, jadwal pukul 10 Pagi (21/11), dengan perkiraan sampai Bandar Lampung paling lambat jam 8 malam di hari yang sama. Lalu rencananya kami lanjutkan dengan naik kereta malam ke Kertapati, Palembang dengan jadwal pukul 9 malam, dan perkiraan sampai jam 6 pagi hari berikutnya (22/11).
  • Damri Bisnis, Jakarta - Tanjung Karang, Lampung, Rp. 160 ribu dengan jarak tempuh kurang lebih 8-9 jam. 
  • Kereta Bisnis, Tanjung Karang-Kertapati, Rp. 150 ribu dengan jarak tempuh yang sama. Save-nya bisa sampai 200 ribuan dibanding saya harus naik pesawat dari Jakarta ke Palembang. Memang sih, kalau ngeteng itu capek, lama di jalan. Tapi, yakinlah sensasi ngeteng itu memang beda banget. Bikin deg-degan. Dan akan jauh lebih hemat seandainya kami masih kebagian jadwal tiket kereta pagi. Tapi sayang, tiket dengan harga 32ribu itu cepat banget habisnya.
Namun, rencana tinggal rencana, semua buyar ketika Mbak Yuni ketinggalan bus Damri, yang akhirnya memaksanya dia beneran ngeteng sendirian dari Jakarta ke Lampung, tanpa saya. Yang secara otomatis, jadwal keberangkatan kami menuju Palembang naik kereta juga jadi berantakan. Karena Mbak Yuni baru sampai Kota Bandar Lampung pukul 10 malam, sementara kereta berangaktnya jam 9 malam. Untungnya malam itu saya tiba duluan dan sempat membatalkan tiket, dan secara cepat memutuskan untuk ganti moda transportasi menggunakan mobil travel, dengan tarif Rp. 200 ribu dari Bandar Lampung jam 11 malam, dan sampai Palembang jam 6 pagi, langsung diantar ke Jakabaring Sport City, tempat dan lokasi pertama kami menginap. Tadinya kami mau menginap dulu di Bandar Lampung, sudah pesan hotel segala. Tapi setelah dipikir-pikir, sepertinya mending capek sekalian

Dan ini pengalaman pertama saya ke Palembang naik mobil tengah malam, kalau mau dibilang nekat, ini nekat banget, saya nggak pernah melewati jalan lintas Sumatera sejauh itu, kecuali dari Bakauheni ke Natar kalau lagi pulang ke Lampung. Tengah malam ke Palembang naik mobil travel dengan orang-orang yang nggak kami kenal, yang belum pernah saya lakuin sebelumnya. Padahal ada hal yang sangat saya takutkan juga dari perjalanan itu, gimana kalau mobil kami di cegat sama "Bajing Loncat" yang dulu terkenal banget di jalanan lintas Sumatera. Yang ceritanya sudah saya dengar sejak masih kecil, yang juga pernah saya tonton ceritanya di film Dapunta - Sang Pelari, yang menggunakan latar cerita orang Palembang (Pagaralam).

Tapi Bismillah dan Alhamdulillah selama perjalanan dari Bandar Lampung ke Palembang malam itu lancar, walaupun saya nggak sempat tidur, karena sopirnya yang membawa mobil nggak kenal yang namanya Polisi tidur apalagi jalanan yang bolong. Entah memang sudah terbiasa, atau ada hal lainnya, yang pasti mobil yang kami tumpangi itu seperti nggak ada remnya. Hahahaha, ngebut banget. Mungkin benar kata orang-orang, sopir lintas Sumatera itu kalau nyetir nggak kenal rem.

Oh, dan saya makin nggak bisa tidur ketika sekitar jam 3 malam, tiba-tiba sopirnya ngerem mendadak sembari menyeletuk, "Astagfirullah, kayak ada anak kecil!" yang membuat badan saya hampir kejedut kursi tengah, karena kami duduknya paling belakang.
Anak kecil? seketika bulu kuduk saya pun merinding. Gimana nggak merinding, sepanjang jalan yang kami lewati itu gelap gulita, kiri kanan hutan, jalanan lurus nggak ada mobil lain kecuali mobil kami.

Tapi, saya nggak pernah menyesal, berangkat ke Palembang tanpa perencanaan, mengurangi budget tabungan yang seharusnya buat liburan awal tahun bareng keluarga, memutuskan banyak perubahan soal transportasi, dan lelah pastinya. Karena seketika rindu saya terobati melihat Palembang, tak kala melihat rumah rumah panggung khas Sumatera berjejer berdiri di sepanjang jalan, berdampingan dengan rumah modern. 
Entah megnapa, menjejakan kaki di Palembang seperti saya lagi pulang Kampung. Padahal kampung saya ada di Lampung..hehe. 

Palembang

Rasanya begitu hangat, menatap Kota Palembang dengan jarak begitu dekat, menghirup udaranya yang panas dan lembab, menyapa dan melihat rumah-rumah tua, mendengarkan cerita-ceritas sejarah, menyapa masyarakatnya yang bangga akan Palembang dan Sungai Musi dan Jembatan Ampera yang menjadi ikon kota ini. Kemana saja selama 4 hari 3 malam di Palembang kemarin? Pertanyaan itu banyak sekali dilontarkan teman-teman saat tau saya ada di Palembang, selain, "Bawain Pempek, ya?" Ahhh hehe.

Baik, mungkin ini akan jadi postingan yang sangat panjang (ini saja sudah panjang). Saya akan runutkan perjalanan kemarin dengan detil yang saya ingat. Kalau ada yang terlewat, ya mohon maaf.

Saya nggak perlu menceritakan asal muasal sejarah panjang Palembang atau yang juga dikenal dengan Bumi Sriwijaya, Kota terbesar kedua di Sumatera setelah Medan. Kota ini menyimpan banyak sekali cerita yang menarik. Dan sayangnya saya baru tertarik untuk mencari tau lebih banyak lagi. 

Kalau mau dibilang nggak puas, saya nggak puas pada perjalanan famtrip kemarin itu, karena waktu yang diberikan panitia setiap kali kami mengunjungi tempat-tempat wisata hanya sebentar. Kami diburu-buru untuk segera kembali ke bus beserta rombongan Famtrip Musi and Beyond 2018, yang pesertanya lebih dari seratus, yang datang dari beberapa negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapore. 

Wisma Atlit di Jakabaring Sport City

Jadi, memang banyak sekali yang ikut. Hari pertama, setibanya kami di Palembang (22/11) kami menginap dan makan siang di Wisma Atlit Jakabaring. Tempat ini di bulan Agustus-September 2018 lalu sangat ramai oleh peserta atau atlit dan tamu-tamu juga wisatawan yang menghadiri Asian Games 2018. Yup, Palembang ini menjadi kota kedua setelah Jakarta, yang menjadi venue/lokasi penyelenggaraan event olah raga terbesar kedua di dunia. Palembang menjadi semakin terkenal setelah gelaran Asian Games.

Namun setelah itu, pasca Asian Games berakhir, komplek Jakabaring Sport City kembali sepi. Memang nggak banyak kegiatan yang dilakukan di sini, karena terlihat dari beberapa tempat olah raganya yang sedikit rusak, tapi bukan karena tak terawat, melainkan rusak karena dihantam angin puting beliung yang terjadi di Palembang beberapa waktu sebelumnya. Tapi saya nggak begitu hapal, tempat apa saja yang terkena terjangan angin puting beliung ini. Sayang banget memang, karena itu berarti pemerintah akan mengeluarkan anggaran lagi untuk perbaikan. Namun, karena ini musibah alam, kita tak bisa mengelaknya.

Berakhirnya perhelatan Asian Games atau ketika tak ada event maupun kegiatan olah raga. Venue-venue olah raga di komplek Jakabaring Sport City tetap bisa digunakan oleh publik atau dialihfungsikan untuk disewakan yang dikenakan tarif. Jadi, masyarakat bisa menggunakan fasilitas olah raga yang ada di Jakabaring Sport City ini. Termasuk wisma-wisma yang tadinya digunakan oleh para atlit, tempat kami menginap di hari pertama selama di Palembang.

Opsi tersebut ternyata sudah dipikirkan oleh pemerintah, terutama oleh Kementrian PUPR (Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat). Bahwa, dari pada nantinya bangunan-bangunan ini terbengkalai tak terpakai, lebih baik difungsikan untuk disewakan. Ini juga bisa jadi meringankan biaya perawatan seluruh bangunan yang ada. Karena pasti terbayang kan, bangunan-bangunan di Jakabaring ini jika tak terpakai akan bagaimana. Karena wisma tempat kami menginap malam itu saja sudah terlihat, jika tak dirawat atau tak dihuni akan jadi cepat rusak.

Jika teman-teman ingin mencoba merasakan menjadi atlit olah raga, musti coba menginap di Wisma Atlit Jakabaring ini. Fasilitasnya lumayan lengkap, tapi karena ini kamar atlit, jangan berharap banyak terhadap hiburan. Karena kamar yang berisi 4 kasur ini di Wisma Atlit Jakabaring ini hanya menyediakan AC dan perlengkapan mandi, tanpa Televisi ataupun Wifi/Internet. Menurut info yang kami dapat, tak tersedianya sarana hiburan di Wisma Atlit, agar mereka fokus saja terhadap latihan. TV maupun jaringan internet bisa saja memecahkan konsentrasi mereka menghadapi pertandingan.

Di Komplek Wisma Atlit, ada 8 tower/gedung, terbagi beberapa blok yang dikhususkan untuk atlit dalam dan luar negeri, yang semuanya saat ini bisa disewakan atau digunakan oleh publik.
Selain merasakan menginap di Wisma seperti para atlit, hari kedua di Palembang kemarin kami juga mengunjungi beberapa venue olah raga, seperti Bowling, Aquatic, Volly, Stadion Sepak Bola, Tenis, Shooting Range dan komplek ibadah 5 agama yang menarik sekali dilihat. Yang menjadi simbol dan menunjukkan bahwa Olah Raga dapat menyatukan perbedaan, berdampingan dan saling menghargai perbedaan itu sendiri.

Oh ya, saya belum memberi tahu ya, kalau komplek Jakabaring Sport City ini adanya di kawasan Palembang Ulu. Dari Pusat Kota Palembang yang ada di Ilir, perlu waktu sekitar 45 menit melintasi Sungai Musi dengan Jembatan Ampera (Amanat Penderitaan Rakyat) yang menjadi ikon kota ini. Dari Bandara bisa menaiki LRT dengan jarak tempuh sekitar 1 jam. Dan ada banyak sekali moda transportasi yang bisa digunakan di Kota Palembang. Dari transportasi konvensional maupun yang bisa dipesan online (Gojek-Grab).

Soal penginapan, di sekitar kawasan komplek Jakabaring Sport City, selain wisma yang bisa dipesan/disewakan. Disana juga ada beberapa hotel, salah satu yang kami datangi selama Famtrip itu ada Wyndam Hotel. Hotel ini pernah diinapi oleh Pak Jokowi saat Asian Games kemarin. 

Seru sih, rasanya tak cukup 4 hari untuk menjelajahi seluruh isi kota Palembang.

Pulau Kemaro

Saya selalu penasaran dengan Pulau Kemaro, setiap kali ada teman-teman Travel Blogger yang berfoto di tempat ini, dengan Pagoda dan Klenteng khas Etnis Tionghoa-nya. Saya membayangkan ada juga di sana. Sebenarnya memang tak ada yang begitu istimewa di sini, karena kita hanya akan menemukan Klenteng dan Pagoda yang menjadi daya tarik Pulo Kemaro, terutama Pagoda berlantai 9, yang jika beruntung kita bisa menaikinya sampai ke atas, lalu melihat Kota Palembang dan luasnya sungai Musi dengan kapal-kapal besarnya, yang menurut Klenteng dan Pagoda hampir sama ketika mengunjungi Sam Poo Khong di Semarang. Dimana ada Kuil dan Makam.
Namun yang menjadi daya tarik lebih ke Pulo Kemaro ini adalah perjalanan ke sana. Kita diajak menyusuri sungai Musi menggunakan Perahu kecil atau yang disebut Ketek oleh warga setempat. Dan tentunya cerita legenda bagaimana Pulo Kemaro ini terbentuk.

Pulo Kemaro adalah delta kecil yang ada di Sungai Musi, dari cerita legenda yang ada, Pulau ini ada karena kisah cinta Siti Fatimah (Putri Palembang) dan Tan Bun An (Pangeran dari China) yang saling jatuh cinta.

No comments:

Post a Comment

Terima Kasih - @melfeyadin