Foto: BKKBN |
Ok, sebenarnya saya mau cerita
sedikit kisah tentang pernikahan dini. Ehm, ketika saya lulus SMP, banyak
teman-teman sebaya saya dulu yang memutuskan langsung menikah. Saya yang
mendengar curhatan teman saya itu melongo. Serius kamu mau menikah? Kita itu
masih-masih anak-anak, belum waktunya deh. Saya sedikit menentangnya.
Mell, kalau nggak menikah sekarang,
aku mau ngapain lagi? Di Kampung seperti ini apa yang bisa aku kerjakan? Selain
menjadi jadi bojo (istri), lagian calon suamiku, pacarku sekarang juga sudah
mapan, kok. Orang tuaku juga setuju. Aku juga nggak boleh merantau sama ibu
bapakku. Mereka khawatir, kalau mau kerja, kerja apaan? Selain menjadi
pembantu, baby sitter. Ijazah SMP dapat kerjaan dimana?
Kira-kira begitulah penjelasan
teman saya saat itu. Walau sebenarnya saya tau, di lubuk hatinya yang paling
dalam, dia masih ingin bebas, ingin mencari tau dunia yang lebih luas lagi,
menggapai cita-cita, bekerja di perantauan, menghasilkan uang dan sebagainya.
Tapi bujuk rayu pacar dan juga orang tuanya untuk menikah, terpaksa ia terima.
Lain lagi dengan cerita salah
satu dengan tetangga saya. Karena alasan yang sama, di kampung mau ngapain,
orang tua yang kurang mampu, bekerja serabutan? Akhirnya menikah muda yang
suaminya pun masih muda. Dengan alasan, kalau nggak menikah, yah mau ngapain
lagi? Mereka menikah lalu punya anak. Namun, karena menikah mereka ini hanya “Yaudah
yang penting menikah” selesai. Akhirnya justru menyusahkan orang tua. Si suami
tanpa pekerjaan, akhirnya numpang tinggal di rumah mertua, si istri yang hanya
mengandalkan pekerjaan suami, akhirnya ya tinggal lagi di rumah orang tua.
Sehingga, seluruh biaya hidup dua keluarga ditanggung oleh satu orang, yaitu
orang tua si perempuan. Karena rumah orang tua si lelaki jauh. Ada pula cerita
dari pernikahan dini karena accident, karena dari awal sudah salah, rumah
tangganya ini menjadi masalah terus menerus oleh dua keluarga, yang akhirnya
bercerai karena ketidak cocokan keduanya. Banyak banyak sekali masalah yang
timbul.
Namun, tidak semua pernikahan
dini dinilai kurang baik, ada yang berhasil ada yang gagal, tergantung
bagaimana menyikapinya. Tapi memang ada baiknya setiap sebuah pernikahan itu
direncanakan dengan penuh cinta. Tidak hanya sekedar keinginan yang terlalu
menggebu-gebu semata. Kalau kata orang Jawa, alon-alon asal klakon. Jangan
terburu-buru, rencanakan dengan baik. Ini sesuai anjuran pemerintah tentang
Keluarga Berencana.
Kampanye Cinta Terencana oleh BKKBN
Nah, di atas itu hanya sekelumit
cerita yang saya dengar dari hasil pernikahan dini. Di luaran sana mungkin
lebih banyak lagi. Jadi, ketika beberapa hari yang lalu saya mendapatkan
undangan untuk mengenal dan mencari tau tentang bagaimana idealnya sebuah
keluarga. Saya excited sekali, bukan karena ingin mendapatkan alasan atau
pembenaran kenapa saya belum menikah. Tapi dari sini saya belajar, bahwa
membangun sebuah keluarga itu memang tidak semudah yang kita lihat di depan
mata. Ada semacam aturan yang perlu kita pahami, tidak hanya soal agama saja,
tapi lebih dari itu. Sebuah perencanaan itu penting. Jangan hanya karena sudah
diburu umur atau ekonomi keluarga, akhirnya sembarangan menerima apa saja.
Well, saya mau cerita lagi dari
hasil pemaparan yang dijelaskan oleh narasumber Eka Sulistywati Ediningsih dan
Psikolog Ibu Roslina Varaul, di sebuah acara Blogger Gathering yang
diselenggarakan oleh BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional)
dan Media Indonesia, pada tanggal 15 Mei 2018 yang lalu di Museum Penerangan di
Taman Mini Indonesia Indah. Event ini untuk menyambut Hari Keluarga Nasional
tanggal 29 Juni yang akan datang. Dengan tema, “Membangun Keluarga Berkualitas
Dengan Cinta Terencana”. Sekaligus sedang menjalankan kampanye Cinta Terencana.
Bahwa Keluarga Berencana itu nggak
hanya mengurusi tentang KB, yang mengurusi tentang gerakan membatasi kelahiran
dalam sebuah keluarga, namun lebih dari itu, banyak tugas yang dipegang untuk
membangun perkembangan penduduk dan perkembangan keluarga. Melalui BKKBN,
pemerintah peduli betul dengan masyarakat Indonesia untuk lebih peduli lagi dengan
masa depan sebuah keluarg. Salah satunya untuk mencegah pernikahan dini,
terutama di kalangan menengah ke bawah atau di kampung-kampung yang
berpandangan bahwa, pernikahan adalah jawaban dari permasalahan-permasalahan
yang ada. Upaya pemerintah dalam menentukan kualitas keluarga di Indonesia itu
diatur oleh Undang-Undang. Akan tetapi tanggung jawab membentuk keluarga tak
hanya oleh Negara saja, atau diri kita sendiri, namun semua orang bertanggung
jawab. Tanggung jawab di sini adalah memberikan pemahaman-pemahaman yang
berguna untuk seseorang yang akan membangun keluarga.
foto dr dalduksumbar |
Dan memang betul, bahkan di dalam
agama pun, menikah itu sebaiknya disegerakan, tapi ya itu tadi. Membangun
sebuah keluarga itu harus dengan perencanaan nggak hanya mengandalkan cinta
saja. Karena tentunya kita nggak ingin, pernikahan jadi sebuah permasalahan
baru, seperti cerita saya di atas. Yang justru menambah beban keluarga (orang
tua). Kita semua pastinya ingin memiliki keluarga yang harmonis dan bahagia.
Walau tingkat kebahagian setiap orang itu berbeda-beda.
Ada program-program yang harus
kita rencanakan, yang nantinya akan kita jalani ketika sudah berkeluarga.
Keluarga adalah wahana pertama dalam pendidikan, peran keluarga sangat
menentukan kuantitas bangsa. Dengan keluarga yang kuat, segala aspek yang
lainnya juga akan kuat. Untuk itu, membangun keluarga tidak bisa main-main.
Dan peran orang tua itu penting, peran
dalam keluarga juga penting. Ada pendekatan untuk keluarga dalam memahami
remaja dalam mempersiapkan kehidupannya nanti saat berkeluarga. BKKBN juga
mengajak seluruh keluarga untuk melakuakn salam Genre (Generasi Rencana), yakni
salam masa kini untuk memberikan edukasi kepada remaja untuk tidak melakukan
pernikahan dini dan tidak melakukan sex bebas. Dan diharapkan untuk meniti kehidupan
berkeluarga dengan rencana yang matang Remaja juga diharapkan dapat berprilaku serta
menjalani hidup sehat dan tidak menyalahgunaan narkoba.
Dan idealnya seseorang menikah
untuk perempuan itu berumur di atas 21 tahun, dan untuk laki-laki di atasa 25
tahun. Lalu bagaimana jika sudah terlanjur melakukan pernikahan dini? Jika
sudah terlanjur maka perlu dilakukan pengaturan jarak kelahiran anak. Sebaiknya
jarak kelahiran anak pertama dengan kedua adalah minimal 3 tahun. Dan jika
sudah menikah atau setelah membentuk keluarga, pasangan yang bersangkutan
diberdayakan sebaik mungkin untuk menjaga dan memelihara kesehatan
reproduksinya seperti bagaimana melakukan hubungan seksual yang aman dan sehat.
Jalin kasih saying dan komunikasi yang baik sehingga segala rintangan yang
menghadang dapat diselesaikan dengan baik dan saling percaya. Agar nantinya
dalam hubungan rumah tangga dapat menghindari kesalahpahaman yang menyebabkan
pertikaian atau pertengkaran. Komunikasi itu penting! Bicarakan setiap masalah
agar mendapatkan solusi bersama.
Jadi seperti itulah, membangun
sebuah keluarga harus dengan Cinta yang terencana. Dan STOP pernikahan dini,
pernikahan anak di bawah usia.
Sekarang banyak yang menikah di usia dini ya. Padahal idealnya 21th lho.
ReplyDeleteJarak kelahiran anak memang mempengaruhi banget ya. Kalau terlalu dekat bisa bingung ngurusin anaknya juga.
ReplyDeleteMasih dua anak cukup ya?
ReplyDeleteDiganti dah taglinenya Koh, sekarang dua anak lebih baik. ;-)
DeleteGa bisa komentar lagi, pokoknya tjakep ajah kalau udah Kakah yang nulis. Congratz ya Kak...
ReplyDelete