Kalau ngomongin Pecel, saya nggak akan pernah melupakan satu sosok yang jasanya tiada akan habis sampai kapanpun juga, Emak. Dari saya kecil hingga remaja, hidup saya dibiayai oleh Emak yang berjualan Pecel di rumah. Sehari-hari tanpa pernah bosan, setiap pulang sekolah saya selalu dibuatkan seporsi pecel dengan sayuran dan bumbu kacangnya yang sedap di lidah. Taburan kerupuk yang diremas hingga hancur dan Tempe goreng dengan tepung berbumbu Ketumbar yang kuat menjadi pelengkap yang sampai sekarang masih tercecap lekat dalam ingatan. Itulah kenapa, saya nggak pernah bosan mencicipi yang namanya Pecel/Pecal atau yang sering disebut juga dengan nama Gado-gado. Tapi rasanya nggak cocok jika Pecel disebut Gado-gado. Karena menyebut Pecel dari pada Gado-gado itu lebih klasik dan terdengar lebih memunculkan identitas asli makanan khas asli Indonesia ini.
Pecel Nasi Kembang Turi langganan saya sarapan pagi di Bogor |
Dan buat saya Pecel itu nggak sekedar makanan khas Nusantara yang sehat, disukai karena harganya murah meriah, mudah dibuat dan cocok untuk mereka yang vegetaran, tapi Pecel buat saya adalah sebuah sejarah kehidupan.
Pecel yang terlalu banyak bumbu |
Karena cara membuat dan bahan-bahan yang digunakan mudah di dapat, Pecel ini bisa kita temui di mana saja, terutama di daerah Jawa, tempat asal Pecel ini dibuat. Di kota kota kecil hingga kota besar, dari pedagang kaki lima hingga restoran kelas dunia. Sering saya melihat tayangan di televisi yang menyajikan Pecel dengan berbagai kreasi unik agar lebih diminati dan dikenal lebih luas lagi. Oleh sebab itu saya suka sekali memotret Pecel-pecel yang kebetulan saya cicipi dengan kamera ponsel. Jepret kuliner nusantara dengan smartphone seperti ini jadi membuat saya ingin punya ASUS Zenfone dengan fitur PixelMaster Camera yang menyediakan berbagai mode pemotretan yang sudah tersemat di dalamnya.
Pecel Pincuk yang belum disiram bumbu di Museum Tekstil |
Tapi, menurut saya, Pecel itu nggak perlu kreasi yang njelimet. Karena dengan tampilannya yang alami saja sudah membuat hati saya berdegub kencang dengan aroma khasnya. Apalagi jika bahan dan bumbu-bumbunya masih fresh dan diulek sendiri ditambah Kencur dan perasan Jeruk Limau. Hmm... sudahlah, saya rela antri demi mendapatkan seporsi Pecel seperti ini.
Pecel Pincuk di Jogja (Blogger Nusantara |
Dan ngomongin kenangan, selain Pecel buatan Emak yang sampai sekarang saya masih hapal rasanya seperti apa, ada satu lagi yang tak pernah lekang dalam pikiran saya.
Dulu, dulu sekali ketika saya masih SD, kami (di kampung) punya langganan Pecel Pincuk yang berjualan di lingkungan sekolah, yang seringnya juga berjualan keliling kampung menjajakan Pecelnya di dalam bakul yang selalu digendong. Ada dua nama yang jadi legenda, namanya Mbah Surip dan Mbah Sadar. Kedua mbah ini punya pelanggannya sendiri dan ciri khas bumbu Pecelnya sendiri. Saya, lebih suka Pecel buatan Mbak Surip, karena bumbu kacangnnya sedikit lebih pedas, manis dan encer, sayurannya juga lebih lengkap, ada Genjer, Bayam, kacang panjang, kembang turi, kadang-kadang ada daun lembayung (daun kacang) nya juga yang sedikit kesat. Pecel yang seperti ini yang selalu membuat saya kangen, Emak dan kenangan tentang masa kecil.
Artikel ini diikutsertakan pada Blogging Competition Jepret Kuliner Nusantara dengan Smartphone yang diselenggarakan oleh Gandjel Rel
Pincuknya itu yang bikin pecel makin spesial.
ReplyDeleteAku mau pecel pincuuuk, enak banget ya Mel.
ReplyDeleteItu porsinya nggak begitu banyak keliatannya, pas banget buat sarapan.
Pecel salah satu makanan lokal favoritku selain soto.
ReplyDeleteKalau pas kumpul-kumpul di rumah Ibu di Jambi, biasanya dibuatin pecel dan dijamin habis karena kami sekeluarga suka sekali kreasi makanan ini. Maklum, jaman saya kecil Ibu dan simbah puteri pernah jadi bakul pecel. Hihihi...
jadi lapeeer
ReplyDeleteudah jarang yang jual ini ya kayanya sekarang ahahha
ReplyDeletePecel memang khas ,salad dari indonesia . . . Kunbal tanjungbungo.com
ReplyDelete