Laman

Wednesday, 11 January 2012

Sebuah Pinangan (2)


Edward menunggu.
“Ed…kita itu udah gede, jangan becanda soal beginian!”
“ Gue nggak becanda Moi, gue serius!.. gue udah capek nyari perempuan yang akan gue ajak nikah..”
Edward, aku mencerna apa yang dia bicarakan tentang pernikahan. Apa iya? Dia mengajakku menikah hanya karena dia tidak lagi menemukan perempuan yang cocok dengannya?.
Edward, sepertinya pembicaraan ini tidak layak kita bahas melalui telepon. Dan kitapun harus bertemu. Aku memberikan alasanku.

“Moi…sebenernya dari dulu..dari kita masih berseragam putih biru, gue kagum sama loe..”
Edward mengingatkanku, semasa SMP dulu kami memang berteman tetapi hanya berteman kenalan seperti teman-teman biasa. Tapi diam-diam dia berkata padaku, suka dengan sikapku yang kadang menyebalkan. Sebenarnya bukan itu, dulu aku pernah menaksir teman satu kelasnya bernama Dwian. Cowok yang sejak kelas satu ku incar, tapi tak pernah kudapatkan karena Dwian pindah sekolah. Dulu aku sering menyambangi kelas Edward, hanya untuk melihat Dwian. Dulu aku hanya mencela dan bertendangan kaki jika bertemu Edward, dulu Edward dikenal preman kelas 3D.
Aku tidak tau apa yang dia kagumi dariku.
“Moi…loe inget nggak sih Alex yang loe taksir dulu? Atau sebenarnya loe suka sama Adwi adik guru biologi kita dulu?” aku melupakan ajakan untuk menikah bersama Edward, karena dia malah membawaku mengenang kehidupan remaja dulu.
“Ed…gue tau loe dulu naksir Seruni kan? Cuma loe nggak berani pedekate sama dia, karena agama kalian berbedakan?”.


Hahahahaha… Seketika Edward tertawa, di tempat dudukku aku langsung menghindarkan handphone yang kurapatkan ke telinga. Lalu Edward menggodaku. Yah, Seruni lebih cantik dariku, tapi nilai plus dariku, aku lebih pintar dari Seruni. Aku lebih ceria dari Seruni, aku lebih berani untuk menunjukkan siapa aku.
“Nah..itu yang gue suka dari loe, Moi”
Jadi, Edward memancingku untuk menunjukkan siapa aku.
O, iya. Edward lalu memberitahuku.
“Moi, loe tau nggak? Kakak gue menikah dengan adiknya Joe.”
Joe? Joe adalah sahabatku dari SMP sampai sekarang. Dan Joe juga pernah memintaku untuk menjadi pacarnya 5 tahun yang lalu. Joe..sahabat terbaikku sekarang menjadi ipar dengan Edward.
“Ed…..” panggilku. Aku ingin bercerita tentang Joe. Tapi sepertinya bukan waktu yang tepat.
Edward diam untuk tertawa pelan mengingat semua kenangan kami dulu semasa remaja. Sebentar-sebentar dia bercerita lagi lalu tertawa..kami menikmati obrolan itu.
“Lucu ya Moi..nggak nyangka bisa begini.” Aku hanya tersenyum yang tentu saja Edward tidak melihatku.
Aku tidak bias memutuskan apa-apa, terlalu banyak cerita dan sejarah yang ingin ku ceritakan pada Edward. Betapa tergodanya aku dengan ajakannya untuk menikah, betapa inginnya aku mempunyai keluarga baru. Betapa semua itu semakin membuatku berfikir. Edward aku harus bercerita padamu. Kataku. Namun itu tak di dengar Edward, dia masih asik tertawa dengan kenangan yang dia ceritakan tentang kami dulu di masa remaja. Aku hanya berkata dalam hati.
Edward, sejak aku bias mengerti hidupku. Aku ingin sekali bertemu seseorang yang tidak memandang siapa diriku. Tidak perduli nasibku, aku ingin seseorang itu menyayangiku tulus tanpa beban antara dirinya atau diriku.
“Ed..”. “ya..?”
“Obrolan ini nanti kita sambung lagi ya..gue musti silaturahmi ke rumah tetangga.” Tanpa munggung persetujuan dari Edward, aku menutup telpon. Tapi setelah itu ku jelaskan melalui pesan singkat. Hanya di jawab OK olehnya.
Ed..masih banyak yang harus aku jelaskan. Tunggu waktku.
Bersambung…

1 comment:

Terima Kasih - @melfeyadin