Laman

Wednesday, 11 January 2012

Sebuah Pinangan (1)



Setelah shalat Ied di lapangan masjid di tengah komplek rumah. Aku tidak punya rencana apapun selain tidur dan menikmati hidangan lebaran di atas meja. Suara Owl City dengan Fire Flies-nya terdengar menjadi dering di handphoneku, ketika suapan ketupat opor terakhir dimulutku.
“ Halo..assalamualaikum…” sapa-ku sembari menonton acara televise dengan tema lebaran pagi ini.
“ Yah..walaikumsalam. Moi apa kabar? Ini gue Edward?”
Edward? Pikirku..dia sudah lama tidak menelponku.


“ Eh..iya Ed, apa kabar? Dimana loe sekarang? Ih sombong yah..kok loe nggak pernah nelpon gue lagi? Kerja dimana sekarang?”
Begitu ku berondong dengan pertanyaan yang seperti tidak ada titik koma, Edward langsung tertawa lepas di ujung telpon.
“Hahahaha..Moi..satu-satu dong kalau nanya..”
Edward adalah temanku sewaktu masih berseragam putih biru, setelah kelulusan pada tahun 2001 kami tidak pernah bertemu lagi. Dia melanjutkan sekolah ke Jakarta sedangkan aku tetap di daerahku, mencari sekolah negeri yang murah. Itupun atas biaya seorang mantan kepala sekolah di SMA tempatku melanjutkan sekolah mencari ilmu.
Lalu setelah kami sama-sama lulus dari SMA di tahun 2004. Dan dua tahun kemudian kami bertemu lagi yaitu tahun 2006, saat itu aku selalu bersama sahabatku bernama Pratama mengelilingi Bandarejo nama daerah sekolahku dan bernostalgia dengan teman-teman sekelas saat SMP dulu. Dan menikmati obrolan.
Di SMP dulu aku dan Edward tidak pernah satu kelas, dia selalu mendapatkan kelas yang di anggap kelas buangan. Entahlah, menurutku itu hanya gurauan teman-temanku saja. Karena memang kelas Edward jarang sekali menampilkan prestasi di antara kelas-kelas lainnya. Bagiku tak mengapa, asal penghuni kelas Edward sangat baik dan menjaga pertemanan, tidak seperti kelas unggulan yang selalu mendapatkan sanjungan dari semua guru. Tapi penghuni-penghuninya pun selalu mengganggap kelas lain tidak sepadan dengan mereka. Kami tidak bodoh untuk menilai orang. Begitu kelas Edward membela diri.
Di tahun 2006 itu, tepatnya saat lebaran Idul Fitri. Aku bersama 3 kawanku mengunjungi rumah Pratama untuk bersilaturahmi dan reuni kecil-kecilan.
Di sebuah sofa, dekat dengan meja makan dalam ruangan keluarga Pratama. Edward terus memandangiku, sebelumnya aku tidak tahu kalau ternyata itu dia.
“ Mah, cewek itu siapa?” Aku seperti mendengar bisik Edward ke tante Ela mama-nya Pratama.
“Dia Amoile, masa kau tidak tau? Teman kau juga waktu SMP dengan Pratama-kan?”
“Moile?” aku seketika menoleh panggialan pelan yang sebenarnya bukan memanggil, hanya Edwad memastikan ucapan tante Ela.
“Amoile sini…masa Edward nggak kenal kau nak?” saat itu aku sedang menikmati Puding buah bersama adik-adiknya Pratama dan ketiga kawanku. Kuhampiri tante Ela yang duduk menonton televise bersama Edward. Sedangkan Pratama entah anak itu pergi kemana.
“Aku Mah?”
“Ini Edward masa kalian tidak kenal? Edward ini teman Pratama juga waktu SMP.” Begitu terang tante Ela, waktu aku ikut duduk disampingnya.
“Edward?” aku memandangi wajah Edward, memang sepertinya tidak asing.
“Iya gue Edward, loe Amoile anak 3C kan? Sekelas dengan Pratama?”
“Iya, loe Edward anak 3D? Yudiiaaaaa sini,..” aku langsung berteriak memanggil satu kawanku bernama Yudia yang dulu waktu SMP adalah anak 3D juga.
“ Pangling gue liat loe Moi..apa kabar? Yudia? si tomboy?”
Tidak lama aku mendengar teriakan dan suara tawa yang saling meledek antara Yudia, Edward dan kawan-kawanku yang lain. Tante Ela menghindar demi melihat kami yang heboh bertemu Edward, ini reuni dadakan. Edward tidak istimewa, tapi dia terlihat berubah dari terakhir kali kami bertemu saat perpisahan SMP dulu.
“Cantik banget loe sekarang Moi? Gue pangling ngeliat loe”
Aku tersipu mendengar pujian Edward yang memandangiku.
Sejak saat itu kami bertukar nomor telepon tidak lagi bertemu setelahnya hanya berkomunikasi hingga sekarang.
Setiap lebaran kami tidak pernah bertemu. Sampai di tahun 2010, Pratama mengabariku akan menikah. Aku mungkin akan datang kataku, selama aku bisa mendapatkan cuti kerja dari atasanku. Tapi hingga hari H pernikahan Pratama aku tidak bisa hadir.
Di tahun yang sama, ketika Edward menelponku setelah cukup waktu yang lama dia tidak ada kabar.
“Yah, walaikumsalam, Moi apa kabar? Ini gue Edward” saat ku angkat suara Owl City dengan Fire Fliesnya dari handphoneku.
Edward?
Kami memulai dengan obrolan panjang, tanpa basa basi.
“Moi..maukah menikah denganku?”
…. Seperti suara asing di teleponku. Suara Edward?
“Menikah Ed?”
Edward dan aku tidak sepenuhnya kenal, aku hanya tahu sebagian saja dari hidupnya, kami tidak pernah bertemu setelah lebaran di rumah Pratama itu. Aku tidak keluarga Edward, aku tidak tau perkerjaannya, aku tidak tau apa-apa tentang dia.
Pertanyaannya, apakah aku bisa menerima lamaran Edward untuk menjadi istrinya
Bersambung…


1 comment:

  1. ohhh jadi ini cerita pertama dari sebuah pinangan yang kedua yachhhh

    ReplyDelete

Terima Kasih - @melfeyadin